Ucapan terima kasih mesti dihaturkan kepada SBY sebagai kepala negara Indonesia yang telah memberikan satu lagi pelajaran berharga bagaimana menjadi seorang pemimpin yang inkonsisten. Mungkin inilah gaya kepemimpinan yang dikatakan sebagai tidak bersatunya antara perkataan dengan tindakan.
Pasca keputusan SBY selaku Majelis Tinggi Partai Demokrat terkait dengan konflik internal partainya, SBY menampakkan dirinya seolah sebagai solusi dari apa yang terjadi dan menimpa Partai besutannya.
Lambang Partai Demokrat |
Sayangnya, solusi tersebut makin melihatkan Partai Demokrat tidak berdemokrasi. SBY ingin mencerminkan dirinya sebagai “Godfather santun” partai berlambang bintang mercy tersebut.
Uniknya, SBY tidak menyadari dengan lahirnya solusi yang dirinya ‘klaim’ didapat ketika dirinya umroh—malah membuat hiruk pikuk demokrasi di internal Demokrat menjadi tidak karuan dan pada titik tertentu merusak wajah demokrasi substansi.
Demokrasi semestinya menyejukkan bagi pegiatnya. Namun, melihat demokrasi ala partai Demokrat, demokrasi menjadi mahluk menakutkan yang sewaktu-waktu begitu tidak menarik. SBY misalnya.
Demokrasi semestinya menyejukkan bagi pegiatnya. Namun, melihat demokrasi ala partai Demokrat, demokrasi menjadi mahluk menakutkan yang sewaktu-waktu begitu tidak menarik. SBY misalnya.
Sebagai pemilik partai Demokrat terkesan kebablasan dengan pola kebijakan yang bersumber hanya dari dirinya dalam penyelesaiaan konflik. Tidak ada perdebatan, tidak ada refleksi—semua celah mendebatkan dan mempertanyakan kebijakan yang sudah diambil—ditutup rapat-rapat.
SBY dan Anas Urbaingrum |
Sebuah ciri sempurna sikap otoritarian yang menihilkan serta mengharamkan ruang pemikiran lain. Maka tidak mengherankan jika kebijakan itu ditanggapi miiris bagi mereka yang masih merindukan demokrasi substansi. Kritik pun dialamatkan pada SBY. SBY dianggap lebih mementingkan urusan kekuasaan dan partainya ketimbang urusan negara dan berjuta rakyat yang hingga kini hidup dalam kesulitan. Untuk urusan partai, SBY pasang badan dan mendoakannya langsung di depan Ka’bah.
Tapi ketika urusan negara dan rakyat memanggil—SBY seolah buta dan tuli bahkan untuk sekedar berdoa saja mungkin enggan. Adalah tepat apa yang dikatakan oleh Buya Syafii Ma’rif yang menyiratkan kepempimpinan ini sebagai kepemimpinan yang buta moral dan tuna susila. Di dalam dirinya hanya ada kepentingan kelompok . Rakyat dijadikan pelengkap dari ekspolitasi kekuasaan yang tampil dan mengemuka tatkala pemilu ada.
Sikap otoritarian ala SBY menjadi bukti jika Orde Baru hanya berganti wajah namun substansinya tetap ada dan bergentayangan dalam diri elit pemimpin bangsa saat ini. Prahara demokrat merupakan puncak daripada pertarungan kubu reformis dengan kubu pro status quo. Anas pemimpin partai yang cukup muda merupakan produk yang lahir tepat ketika reformasi berkumandang di tahun 1998. Ketika itu dirinya menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI periode 1997-1999. Sedangkan SBY dan orang-orang disekitarnya mayoritas besar dari rahim Orde Baru yang ditumbangkan Anas ketika itu. Kini, pertarungan tua-muda terkanalisasi menjadi perang internal partai.
SBY mewakili kubu kelompok tua dan pro orde baru melawan Anas sebagai panglima armada kepemimpinan kaum muda sebelum dikudeta SBY. Sayang, Anas terancam kehilangan kesempatan guna merebut kursi kepemimpinan nasional dari tangan orang tua. Isu suksesi kepemimpinan presiden itu bahkan menjadi sebuah phobia tersendiri dalam menilai potensi Anas oleh lingkaran istana.
Phobia Anas
Mengapa SBY mengambil kebijakan otoriter tersebut? puluhan alasan dapat ditumpahkan. Salah satunya karena Anas berpotensi besar menjadi presiden di masa mendatang. Menyadari potensi ini, SBY dan tim nya tidak gegabah untuk membiarkan Anas menari di depan kekuasaan mereka. Merasa terancam, istana pun tak tinggal diam. Dibuatlah operasi untuk menggagalkan Anas jadi ketua Umum Demokrat saat kongres lalu. SBY merestui Andi Mallarangeng sebagai Ketum Partai. Sayang, langkah Anas lebih cepat dan tepat. Kongres memenangkan Anas sebagai juara.
Andi dan Istana gigit jari. Operasi pertama gagal. Kembali merasa terancam dengan kehadiran Anas yang mengendarai satu-satunya kendaraan SBY, operasi menjatuhkan Anas digelar. Orang-orang dekat Anas dilirik. Tidak bersahabat, ditangkap dan dipenjarakan. Bersahabat dengan operasi, diberi peran dan jabatan. Jadilah gerakan penjatuhan ini dilakukan. M. Nazaruddin, salah seorang tokoh kunci di kepengurusan Anas dilirik dan diancam penjara.
Nazar yang tadinya berkiblat pada Anas—memutar haluan. Nazar diperintahkan memutar fakta agar Anas tersandera dan jadi tersangka. Selain Nazar, Angelina Sondakh dilirik. Sayang, Angie, sapaan akrabnya menolak bergabung operasi penjatuhan Anas sebagai ketum. Angie bersebrangan dan kini dipenjarakan.
Belum cukup sampai disitu. Phobia Anas makin menguat tatkala latar belakang pria santun ini dikemukakan. Anas berlatar belakang NU dan aktivis HMI merupakan sosok muda yang potensial memimpin RI. Alasan inilah yang menjadi penyebab mengapa Anas mesti dikubur sedalam-dalamnya di tanah politik Indonesia.
Belajar dari Demokrat
Agar masa depan perpolitikan tidak suram, pembelajaran demokrasi ala partai Demokrat ini harus dijadikan bahan sejarah penting jika perpolitikan Indonesia masih bertumpu pada ketokohan ketimbang sistem. Demokrasi masih menjauh daripada mekanisme sistem dan institusionalisasi kelembagaan yang berangkat dari aturan.
Solusi prahara Demokrat bukanlah merupakan jalan keluar yang lantas membuat Partai demokrat dapat dicap partai modernis. Jauh daripada itu. Sosok SBY masih menjadi sentral dan sandaran bagi kekisruhan Demokrat yang seolah telah selesai padahal bisa saja belum. Babak baru daripada konflik yang sesungguhnya baru saja terjadi.
Penonton menanti Perlawanan Anas. Namun, seberapa jauh pria kelahiran Blitar, Jawa Timur ini mampu melawan tentu saja hanya dirinya yang mengetahui. Yang terpenting fenomena Partai penguasa ini harus dijadikan kenangan pahit bagi jalannya demokrasi di Indonesia. Konflik yang berlikuk-likuk yang digelar oleh Demokrat berakhir dengan klimaks yang tentu saja menguatkan bagaimana dan siapa sesungguhnya Partai Demokrat itu.
Partai yang lahir di era reformasi namun tetap menyuburkan tradisi orde baru yang kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan berpartai. Itulah kenyataan dan jati diri Partai Demokrat saat ini. Tidak memiliki komitmen penguatan demokrasi. Justru sebaliknya, malah melemahkan dan perlahan mengerdilkan arti demokrasi menjadi sekedar basa-basi politik.
Ikhtiar Politik
Apapun yang terjadi pada partai Demokrat dan menimpa Anas Urbaningrum selaku Ketua Umum merupakan sinyal kuat jika demokrasi di negri ini masih berada pada posisi terancam.
Perjalanan demokrasi yang dilewati ketika reformasi terjadi terhalang kerikil yang menghalangi jalannya. Demokrasi kerap mendapat tantangan serius dari mereka yang memiliki jubah reformis namun sesungguhnya bersikap memusuhi demokrasi.
Prahara Partai Demokrat adalah tanda jika hari ini demokrasi dibajak dengan leluasa. Digunakan semaunya tanpa ikhtiar politik yang ditujukan untuk menguatkan pelembagaan demokrasi secara kaffah. Akhir dari badai Partai Demokrat menjadi cermin politik yang sungguh menarik.
Sebab, partai penguasa ini mesti rela dikandaskan dengan kemunduran politik yang cukup menggelikan. Karena itu, agar demokrasi tidak mati suri, prilaku politik yang ditampilkan oleh SBY beserta kroninya mesti disudahi dengan menguatkan niat bagi pegiat politik agar menyudahi politik ‘pura-pura’ demokrasi untuk menstabilkan dan makin menguatkan demokrasi guna mencapai kesejahteraan rakyat. Karena disitulah makna daripada sebuah sistem demokrasi dibuktikan.